Sabtu, 04 September 2010

Anger Management


Thomas Hobbes dilahirkan pada 5 April 1588 di Malmesbury, Wiltshire, Inggris. Hobbes merupakan tokoh penting dalam perkembangan filsafat, ilmu pengetahuan, dan ilmu politik modern. Salah satu karya Hobbes adalah Leviathan (1651). Teori yang paling kita ingat dari tokoh ini adalah Teori Homo HominiLupus(Manusia bisa jadi serigala bagi sesamanya). Hobbes memunculkan teori ini karena:
  • Secara alamiah manusia punya naluri kekerasan. Menurutnya kekerasan terjadi karena tidak tersalurnya naluriah (harapan, keinginan atau kehendak) yang berlebihan itu.
  • Manusia pada dasarnya hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, segala tindakan manusia mengarah pada pemupukan kekuasaan dan hak milik sehingga akan menjurus pada perang antara semua lawan semua.
  • Untuk mempertahankan kelangsungan hidup – yang didasarkan pada rasa takut terhadap kematian yang kejam — adalah satu-satunya klaim moral yang dapat dibenarkan.
Teori ini tercetus karena Hobes melihat realitas yang terjadi di dalam masyarakat waktu itu. Di masanya ia melihat adanya kesewenang-wenangan terhadap golongan yang lemah, sehingga perlu adanya peran negara untuk mencegah ini. Ia melihat masyarakat di masanya sungguh-sungguh persis seperti binatang, karena mereka saling memakan. Mereka tidak lagi memegang nilai-nilai seperti kejujuran dan kebenaran serta keadilan dan kepedulian pada eksistensi orang lain.

Namun dari kisah penciptaan Adam dan Hawa, dapatlah kita pahami bahwa manusia selalu membutuhkan manusia lainnya untuk menunjang kehidupannya. Naluri manusia untuk selalu hidup dan berhubungana dengan orang lain disebut “gregariousness” dan oleh karena itu manusia disebut mahluk sosial. Sebagai mahluk social yang selalu berinteraksi dengan sesamanya, maka konflik adalah sesuatu yang mungkin terjadi.

Konflik merupakan sebuah fakta alami dari realitas kehidupan manusia.[1] Konflik biasanya terjadi ketika pihak-pihak yang sedang berkonflik tersebut memegang cara pandang, nilai dan tujuan yang berbeda satu dengan yang lainnya.[2] Interes dan kepentingan yang berlainan tersebutlah yang sering kali membangkitkan system kerja emosi menjadi lebih tinggi.[3] Dampak langsung dari system kerja emosi yang meninggi adalah timbulnya kemarahan yang berujung pada sebuah pertengkaran.

Ketika terjadi konflik/pertengkaran sering kali focus dan perhatian kitapun menjadi berubah. Fokus kita berubah kepada memberi response terhadap rasa sakit dan bagaimana me manage kemarahan tersebut.[4] Dengan demikian kita semakin menyadari betapa pentingnya mengerti, mengenali dan mengendalikan system kerja emosi kita. Clore berpendapat bahwa:
“That emotions have important social functions and consequences, in that they influence not only the behavior of the people who experience them but also the behavior of those who perceive them. Emotions function as communications to both oneself/ bahwa emosi mempunya fungsi dan konsekuensi social yang sangat penting, dimana ia bukan hanya mempengaruhi tingkahlaku dari orang yang mengalaminya namun juga mereka yang menerimanya/menjadi obyeknya. Fungsi emosi seperti sebuah komunikasi diantara kedua orang tersebut.”[5]
 
Marah merupakan sesuatu yang normal, umum dan seringkali menyehatkan. Alkitab juga menyaksikan bahwa tokoh-tokoh hebatpun pernah melakuakan hal ini, bahkan Tuhanpun bisa marah. Misalnya:
  • Kel. 4:14 “Maka bangkitlah murka Tuhan terhadap Musa dan Ia berfirman: “Bukankah di situ ada Harun, orang Lewi itu, kakakmu? Aku tau, bahwa ia pandai bicara …” Tuhan marah karena Musa terlalu banyak alas an di hadapan-Nya. Tuhan tidak meminta ability mu tetapi availability mu.
  • 2 Raja-Raja 5:11 “Tetapi pergilah Naaman dengan gusar sambil berkata: “Aku sangka bahwa setidak-tidaknya ia dating ke luar dan berdiri memanggil nama Tuhan, Allahnya, lalu menggerak-gerakkan tangannya di atas tempat penyakit itu dan dengan demikian menyembuhkan penyakit kustaku!” Naaman marah karena formula yang digunakan Elisa tidak seperti yang diharapkannya.
  • Mat. 21:12-17 Tuhan Yesus ke Bait Allah dan mengusir semua orang yang berjual beli di halaman Bait Allah. Tuhan Yesus marah oleh karena Bait Allah telah menjadi perkumpulan Mafia berbaju pendeta.
Maka, melalui sebuah kemarahan kita dapat mengetahui apa yang sesungguhnya menjadi basic values/ basic instinct dari orang tersebut. Ekspresi kemarahan sering kali menjadi signals ada beberapa standard hidup, standar perilaku telah dirusak atau dilanggar.[6] Sekalipun marah adalah sesuatu yang normal namun akan berubah menjadi masalah ketika kemarahan tersebut telah berubah menjadi sesuatu yang merugikan dan menyakiti orang lain.

Nature of Anger

Menurut  Charles Spielberger, PhD, seorang psikolog yang khusus menanganan anger managemen, ia memahami kemarahan sebagai suatu tahapan emosi yang mempunyai intensitas berbeda-beda dari ringan hingga berat. Kemarahan ini berdampak pada perubahan psikologis dan biologis.

Ketika kita menjadi marah, maka detak jantung dan tekanan darah menjadi meningkat, begitu pula dengan level energy hormonal, adrenaline dan noradrenalin kita (Adrenalin dan noradrenalin adalah sistem pertahanan tubuh yang pertama muncul setiap kali terjadi stres mendadak – fight-or-flight). Kemarahan juga dapat menyebabkan terjadinya dua peristiwa sekaligus: peristiwa eksternal dan internal. Kita bisa marah terhadap orang namun juga terhadap sebuah kegiatan/peristiwa. Kemarahan juga dapat dipicu oleh kegelisahan, booring terhadap masalah-masalah pribadi.

Expressing Anger

Secara instinct, cara alamiah dalam mengekspresikan kemarahan adalah berresponse secara aggressive. Spielberger[7] berbendapat ada dua model dalam mengelola kemarahan/ anger management yakni anger-in (inhibition of anger expression) dan anger-out (direct physical or verbal expression). American Psychologist Association[8] menjabarkan dua bentuk ini dalam tiga cara pengekspresian kemarahan. Cara tersebut antara lain:
  1. Expressing – mengekspresikan kemarahan dengan cara assertive yakni dengan cara yang penuh respek baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Untuk dapat melakukan hal ini kita membutuhkan pemahaman yang menyeluruh tentang apa yang sesungguhnya menjadi kebutuhan kita, bagaimana mempertemukan dengan kebutuhan orang lain tanpa harus melukai atau menyakitinya.
  2. Suppressing – hal ini dapat terjadi ketika kita mengendalikan kemarahan, berhenti memikirnya dan menganti focus pikiran kita kepada hal-hal yang positive. Dengan demikian kita bisa mengubah perilaku yang tidak mengenakkan menjadi perilaku yang menyenangkan. Namun, cara ini juga mempunyai kelemahan, karena apa bila kita tidak mampu menanggulanginya, maka kemarahan tersebut akan menyerang ke dalam yakni menyerang diri kita sendiri. Kita menjadi orang yang sensitive, mudah tersinggung, pesimis dan unpredictable.
  3. Calming – Calming bukan berarti hanya mengontrol perilaku lahiriah kita/ outward tetapi juga mengontrol responses internal kita, berusaha menenangkan gejolak hati, menenangkan pikiran hingga mampu berpikir secara jernih dan obyektif.
Strategies To Keep Anger at Bay

1. Relaxation – 1 Sam. 16:23 “Dan setiap kali apabila roh yang dari pada Allah itu hinggap pada Saul, maka Daud mengambil kecapi dan memainkannya; Saul merasa lega dan nyaman, dan roh yang jahat itu undur dari padanya.”
Cara relaxation yang sederhana seperti misalnya:
  • Mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan segera, itu akan sangat menolong menenangkan rasa marah yang ada.
  • Mendengarkan musik kesukaan dan meneduhkan.
  • Sambil melakukan senam pernafasan juga melakukan self talk “relax,” “tenang man,” “bukan sebuah masalah”
2. Cognitive Restructuring – secara sederhana adalah dengan mengubah cara berpikir kita.
Seringkali ketika marah kita mengeluarkan kata-kata umpatan dan makian yang tidak karuan. Ketika kita marah, sesungguhnya system kerja otak kita menjadi sangat dramatis. Oleh karena itu kita perlu melakukan yang namanya cognitive restructuring seperti yang dilakukan oleh Gamaliel ketika menyikapi ketidak sukaan orang-orang Farisi terhadap pelayanan yang dilakukan oleh para rasul dalam KPR 5:26-42.
“Karena itu aku berkata kepadamu: Janganlah bertindak terhadap orang-orang ini. Biarkanlah mereka, sebab jika maksud dan pernuatan mereka berasal dari manusia, tentu akan lenyap …”
3. Problem Solving
Adakalanya, yang menjadi sumber kemarahan dan frustasi kita adalah karena masalah-masalah yang tidak kunjung selesai di dalam hidup kita. Jalan satu-satunya adalah segera melakukan tindakan tegas! Seperti halnya dengan apa yang dilakukan Tuhan Yesus ketika menyikapi Mafia Bait Allah. Masalahnya adalah tidak jarang kadang kita suka menikmati masalah tersebut.
Cara lainnya adalah dengan membuat sebuah perencanaan dan melakukan evaluasi secara berkala.
4. Better Communication
Kemarahan juga sering kali disebabkan karena kecenderungan kita untuk jump to conclusions, dan seringkali kesimpulan yang kita buat tersebut tidak akurat.
Satu hal yang perlu kita lakukan ketika berada di tengah-tengah diskusi yang panas adalah slow down and think your responses. Slow down and think carefully tentang apa yang hendak kita katakana.
Firman Tuhan mengajarkan kita untuk “Hai saudara-saudaraku yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah” Yak. 1:19
Kita perlu belajar mendengar (empathy listening) apa yang sesungguhnya menjadi penyebab kemarahan tersebut.
5. Changing Your Environment
Lingkungan juga dapat menjadi penyebab timbulnya kemarahan dan irritasi emosi kita. Bahkan orang-orang yang ada di sekitar kitapun bisa menjadi beban, menambah masalah dan sumber permasalahan tersebut. Hal serupa juga di alami oleh Ayub ketika di kelilingi oleh ketiga orang sahabatnya ia berkata “Hal seperti ini telah acap kali kudengar, penghibur sialan kamu semua!” (Ayub 16:2). Itulah sebabnya, untuk mengurangi intensitas kerja emosi kita, maka mengubah lingkungan itu sangat penting. Mengubah tempat kita kerja, dengan siapa kita bergaul dan bagaimana kita berinteraksi.

“When anger rises, think of the consequences”
Confucius

Referensi:
Jehn, K. A.  (1997) Affective and cognitive conflict in work groups: Increasing performance
through value-based intragroup conflict. In C. K. W. De Dreu & E. Van de Vilert (Eds.),
Using conflict in organizations. Thousand Oaks, CA: Sage. 87-100
Barry, B.  (1999) The tactical use emotion in negotiation. Research on Negotiation in
Organizations, 7,93-121)
Allred, K. G. (1999) Anger and retaliation: Toward an understanding of impassioned conflict in
organization. Research on Negotiation in Organizations, 7. 27-58)
Burn, J. W., Johnson, B. J., Devine, J., Mahoney, N & Pawl, R. (1998). Anger management style
and prediction of treatment outcome among male and female chronic pain patients.
Behavior Research and Therapy, 36, 1051-1062
Schwarz, N., & Clore, G. L. (1983). Mood, misattribution, and judgments of well-being:
informative and directive functions of affective states. Journal of Personality and
Social Psychology, 45, 513-523
Averull, J. R. (1982). Anger and aggression. New York: Springer-Verlag.
Spielberger, C. D., Johnson, E. H., Russell, S. F., Crane, R. J., Jacobs, G. A., & Worden, T. J.
(1985). The experience and expression of anger:  Construction and validation of an anger expression scale. In M. A. Chesney & R. H. Rosenman (Eds.), Anger and hostility in cardiovascular and behavioral disorder. (pp. 5-30). Washington, DC: Hemisphere.

[1] Jehn, K. A.  (1997) Affective and cognitive conflict in work groups: Increasing performance through value-based intragroup conflict. In C. K. W. De Dreu & E. Van de Vilert (Eds.), Using conflict in organizations. Thousand Oaks, CA: Sage. 87-100
[2] Barry, B.  (1999) The tactical use emotion in negotiation. Research on Negotiation in Organizations, 7,93-121)
[3] Allred, K. G. (1999) Anger and retaliation: Toward an understanding of impassioned conflict in organization. Research on Negotiation in Organizations, 7. 27-58)
[4] Burn, J. W., Johnson, B. J., Devine, J., Mahoney, N & Pawl, R. (1998). Anger management style and prediction of treatment outcome among male and female chronic pain patients. Behavior Research and Therapy, 36, 1051-1062
[5] Schwarz, N., & Clore, G. L. (1983). Mood, misattribution, and judgments of well-being: informative and directive functions of affective states. Journal of Personality and Social Psychology, 45, 513-523
[6] Averull, J. R. (1982). Anger and aggression. New York: Springer-Verlag.
[7] Spielberger, C. D., Johnson, E. H., Russell, S. F., Crane, R. J., Jacobs, G. A., & Worden, T. J. (1985). The experience and expression of anger:  Construction and validation of an anger expression scale. In M. A. Chesney & R. H. Rosenman (Eds.), Anger and hostility in cardiovascular and behavioral disorder. (pp. 5-30). Washington, DC: Hemisphere.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar